Home > Essay > Konten Kekerasan dalam Video Game dan Pengaruh Bagi Pemainnya

Konten Kekerasan dalam Video Game dan Pengaruh Bagi Pemainnya

Video game, siapa yang tidak tahu hiburan yang satu ini? Semua orang menyukainya. Video game adalah hiburan yang paling banyak diminati masyarakat. Di Inggris sendiri masyarakatnya menghabiskan 4,64 Miliar Poundsterling pada tahun 2008 untuk membeli video game, lebih tinggi dibandingkan penjualan musik dan video yang hanya dihabiskan 4,46 Miliar Poundsterling (Daily Mail, 2008). Hal ini sudah menunjukkan betapa antusiasme masyarakat terhadap permainan video di daerahnya. Kepopulerannya sudah mengalahkan hiburan jenis lain semacam musik dan film.

Tidak seperti musik dan film yang hanya bisa dinikmati saja, video game merupakan sebuah hiburan interaktif. Aktifitas yang dilakukan dalam game tersebut secara langsung dikendalikan oleh gamer. Gamer memainkan video game tersebut layaknya berkomunikasi dengan komputer. Hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia hiburan, karena para pemain akan aktif berinteraksi dengan video game tersebut. Tidak seperti musik dan film yang hanya dinikmati secara pasif.

Namun ada hal yang disayangkan dari hiburan ini. Video game yang beredar sekarang cenderung menampilkan adegan-adegan kekerasan yang vulgar. Coba saja lihat contoh video game seperti Call of Duty: Modern Warfare 3 (Treyarch, 2011), Assassin’s Creed III (Ubisoft, 2012), Battlefield 3 (DICE, 2011), dan video game lain yang sejenis. Semua itu menampilkan konten kekerasan yang sangat ekstrim seperti penggunaan senjata, pembunuhan masal, kekerasan fisik, dan adegan-adegan kekerasan lainnya. Ditambah lagi dengan teknologi visualisasi yang semakin maju dan sudah bisa menggambarkan keadaan hampir sama persis dengan di dunia nyata. Hal ini tentu akan menjadi pengaruh besar dalam kehidupan para pemainnya. Terlebih lagi pemain game yang ada saat ini kebanyakan masih berusia belia. Sangat disayangkan jika mereka memainkan video game yang memiliki konten yang tak seharusnya untuk mereka.

Usia Pemain Video Game.

Video game merupakan hiburan segala usia. Pemainnya tidak hanya orang dewasa, mereka yang lanjut usia dan anak-anak pun dapat memainkan video game. Penelitian dari Entertainment Software Association (ESA) menunjukkan 20% pemain game masih berusia dibawah 17 tahun, 26% diatas 50 tahun, dan sisanya 54% berusia rata-rata 37 tahun.

Sebuah survei lain menunjukkan dari 1.102 remaja yang berusia diantara 12 hingga 17 tahun, 97% mengaku pernah atau suka bermain video game (Irvine, 2008). Hal ini tidak aneh, karena wajar saja di usia tersebut mereka memainkan video game. Namun setengah dari jumlah tersebut mengaku memfavoritkan game yang memiliki rating “M” (Singkatan dari Mature, game tersebut sangat tidak disarankan untuk mereka yang berumur dibawah 17 tahun) atau “AO” (Singkatan dari Adults Onlygame yang hanya boleh dimainkan oleh mereka yang berusia diatas 18 tahun) dari ESRB. Padahal tiga perempat dari orang tua para pemain game  muda tersebut mengaku mengecek rating dari video game yang dimainkan oleh anak-anaknya (Irvine, 2008).

Di usia yang masih sangat belia tersebut, anak-anak mampu terhisap dalam adegan-adegan yang ditampilkan dalam video game yang dimainkannya. Jiwa seorang anak masih sangat labil, apapun yang mereka lihat akan membuat mereka penasaran dan akan terpacu untuk mencoba segala hal yang dilihatnya. Para pemain usia muda biasanya lebih tertarik akan adegan kekerasan fisik (adu pukul), senjata (adegan tembak-menembak), dan segala sesuatu yang tidak sepantasnya untuk mereka ketahui dibandingkan dengan ketertarikannya terhadap video game itu sendiri (O’Toole, 2000:20).

Sejarah Munculnya Kekerasan dalam Video Game.

Video game muncul pada awal tahun 1948 dengan dipatenkannya Cathode Ray Tube Amusement Device oleh Thomas T. Goldsmith dan Estle Ray Mann (Nomor paten: US2455992). Pada awal perkembangannya, video game masih bersifat hiburan tanpa adanya adegan kekerasan sama sekali. Kemunculan CRT Amusement Device tersebut menyebabkan pengembang lain berlomba-lomba untuk mengeluarkan video game mereka. Seperti munculnya game seperti Tennis for Two (William Higinbotham, 1956), Spacewar! (Steve Russell, 1962), Pong (Atari, Inc., 1972), dan lain sebagainya.

Video game yang menampilkan kekerasan sudah muncul di awal tahun 1970-an dengan munculnya Death Race (Exidy, 1976) yang merupakan video game paling kontroversial pada zamannya (Kent, 2001). Game ini mengharuskan pemainnya untuk menabrakkan mobil yang dikendarainya pada setan-setan yang berkeliaran di jalanan. Kontroversi muncul akibat setan-setan tersebut lebih mirip manusia pejalan kaki dikarenakan grafiknya yang primitif (Ferguson, dkk., 2008). Namun kemunculan konten sadisme vulgar sendiri muncul pada tahun 1990-an (Wolf, 2012:5). Meningkatnya teknologi dari 8-bit menjadi 16-bit menjadi babak baru dalam dunia video game. Pada masa 16-bit ini, elemen dalam game terlihat lebih detail dibandingkan sebelumnya yang lebih terlihat kotak-kotak dan lebih terlihat sebagai pixel (Picture Elements, titik-titik berwarna yang digabungkan menjadi sebuah gambar). Dalam sistem 16-bit, tampilan darah lebih terlihat jelas seperti cairan kental (Wikipedia, 2012). Munculnya game seperti Mortal Kombat (Midway Games, 1992), Doom (id Software, 1993), dan lain sebagainya, langsung menuai kontroversi karena konten sadisme yang ditampilkannya terlalu vulgar (Mortal Kombat yang ber-genre pertarungan dilengkapi dengan darah dan potongan tubuh manusia serta adegan kekerasan serius pada bagian Fatality-nya, dan Doom yang ber-genre tembak-menembak yang mengandung darah dan potongan tubuh yang berlebihan).

Pengaruh Video Game bagi Pemainnya.

Video game memiliki pengaruh yang sangat kuat dibandingkan dengan media manapun. Kekerasan dalam video game lebih mempengaruhi kondisi psikologis seseorang dibandingkan dengan kekerasan yang terjadi di layar televisi (Anderson & Dill, 2000). Hal ini diakibatkan karena pemain game secara langsung berinteraksi untuk mengendalikan karakter yang dimainkan dalam video game tersebut. Mereka akan lebih mudah mengingat apa yang mereka perbuat secara langsung di dalam video game seperti menembak, memukul, membunuh, menyiksa, dan lain sebagainya dibandingkan jika hanya menyaksikan saja.

Beberapa pendekatan teoritis muncul terhadap pengaruh psikologis yang timbul akibat video game yang sarat unsur kekerasan. Contohnya Catalyst Model (Model Katalis) yang menunjukkan bahwa sifat agresif muncul dari perspektif diatesis-stres yang menyiratkan sifat agresif muncul akibat kombinasi dari pengaruh genetik dan ketegangan di lingkungannya. Model ini menunjukkan bahwa stres digabungkan dengan sifat antisosial yang dimiliki oleh si pemain game dapat memunculkan sifat agresif yang berujung pada kekerasan di dunia nyata (Ferguson, 2008). Model lain seperti General Aggression Model (GAM) menunjukkan bahwa video game memiliki pengaruh kuat bagi psikologis seseorang yang memainkan video game akibat simulasi kekerasan yang dilakukan dalam video game yang mereka mainkan. Model GAM ini menunjukkan video game berpengaruh kuat terhadap seseorang untuk melakukan kekerasan di dunia nyata  (Anderson & Bushman, 2002).

Berbagai kasus terjadi akibat dari pengaruh video game yang sarat kekerasan. Seperti kasus di Indonesia bulan Februari 2008 lalu. Kasus penusukan siswa SD terhadap temannya yang sempat menggegerkan warga setempat (Purnomo, 2012). Penusukan tersebut terjadi karena pelaku yang berinisial AM tersebut menginginkan HP temannya yang berinisial SM. AM juga diketahui menyukai video game Point Blank (Zepetto, 2008) yang sarat akan kekerasan (Purnomo, 2012). Kemungkinan besar ia mencontoh perbuatan tersebut dari video game tembak-menembak online yang memang banyak unsur kekerasan senjata didalamnya.

Contoh lain yang terjadi di luar negeri yaitu, pada tahun 1999 dua orang pemuda berusia 18 dan 17 tahun membunuh 12 orang siswa sekolah dan seorang guru di Columbine, Colorado. Kedua pemuda tersebut mengaku terinspirasi dari game temb ak-menembak Doom (id Software, 1993) yang mereka mainkan (Mikkelson, 2005). Di bulan Juni tahun 2008 kasus kriminal terjadi pula di New Hyde Park, New York. Empat orang pemuda melakukan tindakan perampokan kepada seorang pria dan merampok mobil seorang wanita pada saat itu. Mereka mengaku terinspirasi dari game aksi berjudul Grand Theft Auto IV (Rockstar North, 2008) yang memang memfokuskan pada tindak kriminal seperti perampokan, curanmor, dan lain sebagainya (Cochran, 2008).

Regulasi dan Peran Orang Tua terhadap Video Game.

Keadaan tersebut memaksa berbagai pengembang dalam industri video game untuk memunculkan berbagai asosiasi untuk me-rating judul-judul game yang mereka keluarkan. Contohnya Videogame Rating Council yang me-rating semua game yang dikeluarkan oleh Sega, 3DO Rating System yang meregulasi semua game dari 3DO Interactive Multiplayer, dan lain sebagainya (Chalk, 2007). Saat itu juga Interactive Digital Software Association (IDSA) mengajukan proposal kepada Kongres Amerika Serikat untuk membentuk Entertainment Software Rating Board (ESRB) pada tahun 1994. Pengajuan tersebut diterima oleh pihak Kongres, dan ESRB mulai meregulasi setiap video game yang terbit sejak 1 September 1994 (Kohler, 2009).

ESRB mengkategorikan jenis regulasi game yang dapat dimainkan menjadi empat: Dapat dimainkan untuk usia tiga tahun (early Childhood atau “eC”), untuk usia sembilan tahun (Everyone atau “E”), untuk usia 12 tahun (Teen atau “T”), dan untuk usia 17 tahun keatas (“M” dan “AO”) yaitu video game yang berisi konten kekerasan (Wilson, Singer, & Dowd, 2005). Selain regulasi yang dikeluarkan ESRB, ada pula regulasi lain yang dikeluarkan diluar Amerika Serikat. Seperti PEGI di Eropa, dan CERO di Jepang. Meskipun kontroversi terhadap video game yang sarat akan kekerasan masih berlanjut hingga saat ini, ESRB tetap menjadi regulasi terhadap segala jenis video game yang paling dipercaya oleh masyarakat.

Selain regulasi-regulasi yang ada, peran orang tua juga sangat penting dalam mengendalikan anak mereka dalam bermain video game yang ada. Memang jika dilihat kebanyakan orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sehingga tidak sempat untuk meluangkan waktu demi mengawasi anak-anak mereka. Survey dari AOL dan Associated Press (2007) membuktikan bahwa 40% dari orang tua meninggalkan anaknya untuk bermain video game yang mereka mau sendirian. Padahal itu sangat penting, peran pengawasan dan kasih sayang orang tua sangat diperlukan agar anak mereka tidak terjerumus hal yang negatif.

Namun disamping itu, tidak semua video game berbahaya. Masih ada kabar baik dari dunia video game. Steven Johnson dalam bukunya yang berjudul Everything Bad is Good for You (2006), menuliskan bahwa bermain video game dapat menambah wawasan sejarah, meningkatkan kemampuan berstrategi, dan mengurangi penyakit otak seperti Alzheimer’s Disease. Hal tersebut juga ada dalam video game yang mengandung unsur kekerasan sekalipun.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Bacaan:

Anderson, Craig A., Douglas A. Gentile, & Katherine E. Buckley. 2007. Violent Video Game Effects on Children and Adolescents: Theory, Research, and Public Policy. Oxford: Oxford University Press.

Johnson, Steven. 2006. Everything Bad Is Good for You. New York: Riverhead Books.

Jones, Steve. 2002. Encyclopedia of New Media: An Essential Reference to Communication and Technology. California: SAGE Publications.

Kent, S. 2001. The Ultimate History of Video Games: From Pong to Pokemon. New York: Three Rivers Press.

Messaris, P., & Lee Humphreys. 2006. Digital Media: Transformations in Human Communication. Bern: Peter Lang.

O’Toole, Mary Ellen. 2000. The School Shooter: A Threat Assessment Perspective. Virginia: Federal Bureau of Investigation.

Salen, K. & E. Zimmerman. 2003. Rules of Play: Game Design Fundamentals. Massachusettes: The MIT Press.

Sparks, Glenn G. 2010. Media Effects Research: A Basic Overview, 4th Edition. Massachusettes: Wadsworth

Wilson, R. F, Dorothy G. Singer, Nancy E. Dowd. 2005. Handbook of Children, Culture, and Violence. California: SAGE Publications.

Wolf, Mark J. P. 2012. Before the Crash: Early Video Game History. Detroit: Wayne State University Press.

 

Jurnal dan Publikasi Lain:

Ferguson, C. J.,  dkk. 2008. Violent Video Games and Aggression: Causal Relationship or Byproduct of Family Violence and Intrinsic Violence Motivation?. Dari Criminal Justice and Behavior, volume 35, hal. 311-332. California: SAGE Publications.

Anderson, Craig A., & B. J. Bushman. 2001. Effects of violent video games on aggressive behavior, aggressive cognition, aggressive affect, physiological arousal and prosocial behavior: A meta-analysis. Dari Psychological Science, volume 12, hal.353-359. California: SAGE Publications

Anderson, C. A., &  K. Dill. 2000. Video games and aggressive thoughts, feelings and behavior in the laboratory and in life. Dari Journal of Personality and Social Psychology, volume 78, hal. 772-790. Washington D. C.: American Psychological Association.

 

Halaman Web:

Associated Press & America Online. 2007. The Associated Press/America Online Poll: Gaming Study. http://surveys.ap.org/data/Ipsos/national/2007-10-22%20Gaming%20Study.pdf. Diunduh pada tanggal 31 Oktober 2012.

Chalk, Andy. 2007. Inappropriate Content: A Brief History of Videogame Ratings and the ESRB. http://www.escapistmagazine.com/articles/view/columns/the-needles/1300-Inappropriate-Content-A-Brief-History-of-Videogame-Ratings-and-the-ESRB. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2012.

Cochran, Lee. 2008. Teens Say: Video Game Made Them Do It. http://abcnews.go.com/TheLaw/story?id=5262689&page=1#.UJCdCiIv9jc. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2012.

Daily Mail. 2008. Video games ‘will become most popular form of entertainment’ outselling CDs and DVDs. http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-1083167/Video-games-popular-form-entertainment-outselling-CDs-DVDs-year.html. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

Entertainment Software Associations. 2012. Industry Facts. http://www.theesa.com/facts/. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

Entertainment Software Rating Board. http://www.esrb.org.

Irvine, Martha. 2008. Survey: 97 Percent Of Children Play Video Games. http://www.huffingtonpost.com/2008/09/16/survey-97-percent-of-chil_n_126948.html. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

Kohler, Chris. 2009. July 29, 1994: Videogame Makers Propose Ratings Board to Congress. http://www.wired.com/thisdayintech/2009/07/dayintech_0729/. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2012.

Mikkelson, Barbara. 2005. The Harris Levels. http://www.snopes.com/horrors/madmen/doom.asp. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2012.

Purnomo Nurmulia R. 2012. Siswa SD Ditusuk Teman Sekelas: Pelaku Gemar Bermain ‘Point Blank’ di Warnet. http://jakarta.tribunnews.com/2012/02/18/pelaku-gemar-bermain-point-blank-di-warnet. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

Purnomo, Nurmulia R. 2012. Siswa SD Ditusuk Teman: Handphone Dicuri Lalu Dijual. http://jakarta.tribunnews.com/2012/02/17/siswa-sd-ditusuk-teman-handphone-dicuri-lalu-dijual. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

Wikipedia. 2012. Entertainment Software Rating Board. http://en.wikipedia.org/wiki/Entertainment_Software_Rating_Board. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2012.

 

Video Game dan Media Lain:

Atari. 1972. Pong. Atari, Inc.

Digital Illusions CE (DICE). 2011. Battlefield 3. Electronic Arts.

Exidy. 1976. Death Race. Exidy

Higinbotham, W. 1956. Tennis for Two.

id Software. 1993. Doom.

Midway Games. 1999. Mortal Kombat.

Rockstar North. 2008. Grand Theft Auto IV. Rockstar Games.

Russell, S., dkk. 1962. Spacewar!.

Treyarch. 2011. Call of Duty: Modern Warfare 3. Activision

Ubisoft Canada. 2012. Assassin’s Creed III. Ubisoft.

Zepetto. 2008. Point Blank. Gemscool (Indonesia).

Categories: Essay Tags:
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment